Permasalahan
onani/masturbasi (istimna’) adalah permasalahan yang telah dibahas oleh para
ulama. Onani adalah upaya mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan atau yang
lainnya. Hukum permasalahan ini ada rinciannya sebagai berikut:
- Onani yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki. Jenis ini hukumnya halal, karena termasuk dalam keumuman bersenang-senang dengan istri atau budak wanita yang dihalalkan oleh Allah l.1 Demikian pula hukumnya bagi wanita dengan tangan suami atau tuannya (jika ia berstatus sebagai budak, red.). Karena tidak ada perbedaan hukum antara laki-laki dan perempuan hingga tegak dalil yang membedakannya. Wallahu a’lam.
- Onani yang dilakukan dengan tangan sendiri atau semacamnya. Jenis ini hukumnya haram bagi pria maupun wanita, serta merupakan perbuatan hina yang bertentangan dengan kemuliaan dan keutamaan. Pendapat ini adalah madzhab jumhur (mayoritas ulama), Al-Imam Asy-Syafi’i t, dan pendapat terkuat dalam madzhab Al-Imam Ahmad t. Pendapat ini yang difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah (yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz), Al-Albani, Al-’Utsaimin, serta Muqbil Al-Wadi’i rahimahumullah. Dalilnya adalah keumuman firman Allah l:
“Dan orang-orang yang menjaga kemaluan-kemaluan mereka (dari hal-hal yang
haram), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak wanita yang mereka
miliki, maka sesungguhnya mereka tidak tercela. Barangsiapa mencari kenikmatan
selain itu, maka merekalah orang-orang yang melampaui batas.” (Al-Mu’minun:
5-7, juga dalam surat Al-Ma’arij: 29-31)
Perbuatan onani termasuk dalam keumuman mencari kenikmatan syahwat yang
sifatnya melanggar batasan syariat yang dihalalkan, yaitu di luar kenikmatan
suami-istri atau tuan dan budak wanitanya.
Sebagian ulama termasuk Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t berdalilkan dengan hadits
‘Abdillah bin Mas’ud z:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang telah mampu menikah,
maka menikahlah, karena pernikahan membuat pandangan dan kemaluan lebih
terjaga. Barangsiapa belum mampu menikah, hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.” (Muttafaq
‘alaih)
Al-’Utsaimin berkata: “Sisi pendalilan dari hadits ini adalah perintah Rasul
n bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa. Sebab, seandainya onani
merupakan adat (perilaku) yang diperbolehkan tentulah Rasulullah n akan
membimbing yang tidak mampu menikah untuk melakukan onani, karena onani lebih ringan
dan mudah untuk dilakukan ketimbang puasa.”
Apalagi onani sendiri akan menimbulkan mudharat yang merusak kesehatan
pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami-istri jika sudah
berkeluarga, wallahul musta’an.2
Adapun hadits-hadits yang diriwayatkan dalam hal ini adalah hadits-hadits yang
dha’if (lemah). Kelemahan hadits-hadits itu telah diterangkan oleh Al-Hafizh
Ibnu Hajar t dalam At-Talkhish Al-Habir (no. 1666) dan Al-Albani dalam Irwa’
Al-Ghalil (no. 2401) serta As-Silsilah Adh-Dha’ifah (no. 319). Di antaranya
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr c:
سَبْعَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ
يُزَكِّيْهِمْ وَيَقُوْلُ: ادْخُلُوْا النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ: …
وَالنَّاكِحُ يَدَهُ …. الْحَدِيْثَ
“Ada tujuh golongan yang Allah tidak akan memandang kepada mereka pada hari
kiamat, tidak akan membersihkan mereka (dari dosa-dosa) dan berkata
kepada mereka: ‘Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk
ke dalamnya!’ (di antaranya): … dan orang yang menikahi tangannya (melakukan
onani/masturbasi) ….dst.” (HR. Ibnu Bisyran dalam Al-Amali, dalam sanadnya ada
Abdullah bin Lahi’ah dan Abdurrahman bin Ziyad bin An’um Al-Ifriqi, keduanya
dha’if [lemah] hafalannya)
Namun apakah diperbolehkan pada kondisi darurat, yaitu pada suatu kondisi di
mana ia khawatir terhadap dirinya untuk terjerumus dalam perzinaan atau
khawatir jatuh sakit jika air maninya tidak dikeluarkan? Ada khilaf pendapat
dalam memandang masalah ini.
Jumhur ulama mengharamkan onani secara mutlak dan tidak memberi toleransi untuk
melakukannya dengan alasan apapun. Karena seseorang wajib bersabar dari sesuatu
yang haram. Apalagi ada solusi yang diajarkan oleh Rasulullah n untuk
meredakan/meredam syahwat seseorang yang belum mampu menikah, yaitu berpuasa
sebagaimana hadits Ibnu Mas’ud z di atas.
Sedangkan sekelompok sahabat, tabi’in, dan ulama termasuk Al-Imam Ahmad t
memberi toleransi untuk melakukannya pada kondisi tersebut yang dianggap
sebagai kondisi darurat.3 Namun nampaknya pendapat ini harus diberi persyaratan
seperti kata Al-Albani t dalam Tamamul Minnah (hal. 420-421): “Kami tidak
mengatakan bolehnya onani bagi orang yang khawatir terjerumus dalam perzinaan,
kecuali jika dia telah menempuh pengobatan Nabawi (yang diperintahkan oleh Nabi
n), yaitu sabda Nabi n kepada kaum pemuda dalam hadits yang sudah dikenal yang
memerintahkan mereka untuk menikah dan beliau bersabda:
فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Maka barangsiapa belum mampu menikah hendaklah dia berpuasa, karena
sesungguhnya puasa merupakan obat yang akan meredakan syahwatnya.”
Oleh karena itu, kami mengingkari dengan keras orang-orang yang memfatwakan
kepada pemuda yang khawatir terjerumus dalam perzinaan untuk melakukan onani,
tanpa memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa.”
Dengan demikian, jelaslah kekeliruan pendapat Ibnu Hazm t dalam Al-Muhalla (no.
2303) dan sebagian fuqaha Hanabilah yang sekadar memakruhkan onani dengan
alasan tidak ada dalil yang mengharamkannya, padahal bertentangan dengan
kemuliaan akhlak dan keutamaan.
Yang lebih memprihatinkan adalah yang sampai pada tahap menekuninya sebagai
adat/kebiasaan, untuk bernikmat-nikmat atau berfantasi/mengkhayalkan nikmatnya
menggauli wanita. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa
(10/574): “Adapun melakukan onani untuk bernikmat-nikmat dengannya, menekuninya
sebagai adat, atau untuk mengingat-ngingat (nikmatnya menggauli seorang wanita)
dengan cara mengkhayalkan seorang wanita yang sedang digaulinya saat melakukan
onani, maka yang seperti ini seluruhnya haram. Al-Imam Ahmad t mengharamkannya,
demikian pula yang selain beliau.” Wallahu a’lam.
Semoga Allah l membimbing para pemuda dan pemudi umat ini untuk menjaga diri mereka
dari hal-hal yang haram dan hina serta merusak akhlak dan kemuliaan mereka.
Amin.
Washallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi washahbihi wasallam,
walhamdulillahi Rabbil ‘alamin.
terimakasih atas likenya
BalasHapus